Kamis, 01 Maret 2018

Belajar dari Orang-orang Baik

Suatu masa saat aliyah, pada suatu kepanitiaan bakti sosial, kami berdiskusi tentang peminjaman mobil sekolah untuk urusan operasional panitia. Kala itu menjelang dua acara besar di sekolah, bakti sosial yang tadi saya sebut, dan satu lagi kompetisi antar sekolah yang telah melegendaris dari masa ke masa. Dua-duanya tentu butuh mobil sekolah untuk urusan operasional kepanitiiaan.

Saat itu saya bilang, Kita pinjam aja duluan mobilnya daripada keduluan sama panitia acara lomba (saya nyebut nama acaranya).
Tapi salah satu teman saya yang ikut rapat bilang, Jangan. Kita obrolin aja sama mereka biar sama-sama enak. kapan mereka mau pakai, kapan kita mau pakai.
Honestly, saat itu saya maluuu banget. Kayak saya kok egois banget ya mentingin acara yang saya termasuk panitia intinya. Padahal di acara kompetisi antar sekolah itu saya juga jadi panitia.

Waktu berjalan, obrolan itu ternyata berkesan dan masih saya ingat sampai hari ini.
***
Suatu hari di tingkat akhir kuliah. Skripsi saya mentok, saya perlu bimbingan. Ibu dosen pembimbing sedang masa-masa sulit dihubungi, dan anaknya beberapa kali jatuh sakit sehingga sulit sekali janjian untuk bimbingan. Drama-drama skripsi yang pake nangis sudah berlangsung.

Kala itu pikiran saya berbunyi, kalau memang nggak bisa bimbingan, setidaknya ada kabar kalau memang tidak bisa. Atau kalau memang tidak bisa ketemu, email progress saya mengapa tidak ditanggapi. Email pertanyaan dan chat minta bimbingan kenapa tidak dijawab. Itu kalo gak salah ceritanya ibu dosen abis sulit dihubungi yang sulitnya tuh semacam lapor progress tak ada balasan, tanya konsul tak ada balasan, dsb dll. Padahal biasanya meski nggak ketemu Ibu dosen tetap membalas email-email itu.

Lalu waktu saya nelpon Ummi ceritalah saya hal-hal tersebut.

Saya ingat sekali, salah satu hal yang Ummi saya bilang adalah, Doain dosennya. Doain semoga anaknya lekas sehat. Doain semoga urusan-urusan dosennya lancar.

Saat itu saya tertegun. Iya, ya. Kenapa dari dulu doanya hanya sekadar semoga dosennya mau balas email saya. Semoga janjian bimbingannya mudah. Semoga saya dikuatkan dan dimudahkkan dalam mengerjakan skripsi saya.

Egois sekali doa-doa saya. Padahal doa kita ke orang lain akan malaikat aminkan untuk diri kita juga. Padahal doa tuh gratis, murah, mudah. Tapi kenapa isi doa itu saya ngak kepikiran, ya. Doa untuk kebaikan-kebaikan Ibunya. Bukan melulu terpusat pada saya.

Hiks, malu sekali saat itu.
***
Suatu hari di Badr, saat teman saya menyadari ada sedikit bug pada salah satu aplikasi yang kami jadikan benchmark.
Saya bilang, lapor aja ke mereka bug yang kamu temuin. Kali aja dapet sesuatu. Kalimat terakhir rada-rada oportunis sih hehe soalnya dulu ketemu temennya Nilam yang ngelaporin bug ke Gojek terus dapet saldo gopay sekian ratus ribu. Tolong abaikan saja kalimat itu karena itu bukan ini utama tulisan ini ehehe dan jangan ditiru pls.

Temen saya bilang, Gak mau ah, nanti mereka jadi lebih bagus daripada punya kita.

Lalu saya dengan reflek bilang, Tenang aja, kebaikan itu pasti berbalik ke kita juga, kok. Abis ngomong gitu saya bengong juga sih sama kata-kata saya sendiri.

Pulang dari Badr, di perjalanan saya mikir juga, kok bisa ya tadi seenteng dan serefleks itu ngomong begitu. Mikir, mikir, mikir, lalu terngiang lah saya akan obrolan semasa aliyah dan obrolan sama Ummi yang tadi saya tulis. Mungkin nggak nyambung-nyambung banget ya Tapi otak saya merelate ke situ aja secara otomatis. Dua hal itu.

Dua hal itu yang membuat saya berpikir bahwa, kebaikan orang itu magis, meskipun orang-orang tadi tidak menyadari.

Teman aliyah saya barangkali (dan saya yakin wkwk) sudah lupa isi obrolan itu. Dia tidak tahu bahwa obrolan itu saya ingat sampai hari ini dan bahkan bisa mendukung lahirnya ucapan lain setelahnya. Teman saya mengajakan saya untuk mencari titik temu, dibandingkan merasa menang terhadap yang lain. Ummi juga barangkali tidak berpikir bahwa kalimatnya akan membekas bagi saya. Bahkan juga tidak tahu bahwa saya sempat mengatakan hal tersebut pada teman saya yang sempat sulit mencari tanda tangan dosennya kala pengurusan skripsi. Ummi mengajarkan untuk peduli, mengajarkan untuk coba perhatikan juga urusan orang lain, dan doakan. Berpikir untuk tidak mementingan diri sendiri bahkan dari sudut pandang doa, sudut terkecil yang kalau dipikir-pikir, isi doa itu nggak banyak kan orang yang tau. Paling ya kita saja sebagai orang yang berdoa.

Saya berpikir, dua obrolan kecil itu saja bisa mengubah pola pikir saya beberapa waktu setelahnya tanpa saya sadari.

Saya bersyukur akan keberadaan orang-orang baik di sekitar saya. Kebaikan yang bahkan bisa mengubah pola pikir. Kebaikan yang bisa membuka mata untuk melihat dari kaca mata yang lebih luas. Di sisi lain, mereka tentu tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan berkesan dan menimbulkan bekas bagi saya yang dalam case ini mengorol dengan mereka. Pelajarannya apa? Kita tidak pernah tau apa yang bisa dipelajari orang lain dari diri kita, dan, ya tidak perlu tahu juga sih. Tapi, berbuat baiklah di manapun, tanpa perlu berharap apa-apa. Kebaikan akan menimbulkan kebaikan lainnya, insya Allah.

Semoga Allah memberi kebaikan pada teman saya, Ummi, dan juga orang-orang baik di sekitar saya.


Rumah, 1 Maret 2018
tulisan ini sudah lama menjadi draft di kepala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar